WELLOME TO MY BLOG., THANK'S FOR COMENT

Minggu, 01 Februari 2015

Pertemuan 4



A.      Definisi Kelompok Sebaya (Peer Group)
Menurut Flachaniago (Home, 3 Januari 2014), kelompok sebaya adalah kelompok yang terdiri atas sejumlah individu yang sama. Pengertian sama disini berarti individu-individu anggota kelompok sebaya itu mempunyai persamaan-persamaan dalam berbagai aspeknya. Persamaan yang penting terutama terdiri atas persamaan usia dan status sosialnya.

Sejumlah unsur pokok dalam pengertian kelompok sebaya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Kelompok sebaya adalah kelompok primer yang hubungan antar anggotanya intim;
2.    Anggota kelompok sebaya terdiri atas sejumlah individu yang mempunyai persamaan usia dan status atau posisi sosial;
3.    Istilah kelompok sebaya dapat menunjuk kelompok anak-anak, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.
Menurut Syeirojj (Home, 23 Desember 2013), kelompok teman sebaya adalah sekelompok teman-teman dengan usia yang sama dan status sosial yang sama, kelompok sebaya mempunyai peranan penting dalam penyesuaian diri seseorang. Pada usia remaja, kelompok sepermainan berkembang menjadi kelompok persahabatan yang lebih luas. Dalam istilah sosiologi, kelompok bermain atau teman sebaya dikenal dengan sebutan “peer group”. Teman atau persahabatan merupakan pengelompokan sosial yang melibatkan orang-orang yang berhubungan relatif akrab satu sama lain. Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja merupakan peranan yang penting bagi perkembangan prilaku dan kepribadiannya.

Kelompok sebaya menawarkan kepada anak-anak dan orang dewasa sama kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial, seperti kepemimpinan, berbagai atau kerja sama tim, dan empati. Kelompok sebaya juga menawarkan kesempatan untuk bereksperimen dengan peran baru dan interaksi sosial, mirip dengan kelompok perlakuan, walaupun mereka kurang terstruktur. Di dalam peer group tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun di antara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam peer group ini, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya.
Menurut zaturasmith (Home, 23 Desember 2013), kelompok teman sebaya merupakan sekumpulan anak-anak atau individu yang berkumpul dan memiliki tingkat usia yang hampir sama serta memiliki kesamaan tujuan.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan secara umum pengertian kelompok teman sebaya yaitu suatu kelompok anak-anak yang memiliki tingkat usia dan ciri-ciri yang sama dan memiliki kesenangan yang sama pula. Dengan adanya kelompok teman sebaya,seorang individu yang sedang berkembang dari fase kanak-kanak menuju dewasa memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri mereka.
Menurut Zick Rubin dalam Danim (2010: 142), keterampilan bersahabat umumnya melewati empat tahap penting dan saling bertumpang tindih.
1.    Tahap egosentris
Tahap ini dilalui oleh anak sekitar tiga hingga tujuh tahun. Anak mendefinisikan “sahabat” sebagai orang yang tinggal dekat dengan dia atau orang yang mampu memenuhi kebutuhannya.
2.    Tahap pemenuhan kebutuhan
     Tahap ini dimulai antara usia 4 sampai 9 tahun. Pada tahap ini anak  mulai tertarik dengan pribadi anak-anak lainnya. Pada tahap ini, orang tua perlu mendorong dan menolong anak untuk mengembangkan kemampuannya dalam bersahabat.
3.    Tahap balas jasa
     Pada anak usia 6 sampai 12 tahun biasanya mulai memasuki tahap ini. Pada usia ini anak mulai mengerti apa artinya nilai tukar menukar dan rasa keadilan.
4.    Tahap intim
     Pada usia 9 sampai 12 tahun dominan dengan persahabatan yang intim. Pusat perhatian dalam persahabatan berubah dari hal-hal yang nampak menjadi lebih psikologis dan emosional. Kesediaan untuk berbagai emosi, masalah dan konflik merupakan keterampilan yang sangat penting dalam tahap ini.

B.       Hakikat Kelompok Sebaya (Peer Group)
Menurut Himcyoo (Home, 23 Desember 2013), hakikat kelompok sebaya (peer group) yaitu sebagai berikut:
1.    Peer group bagaimanapun juga terbentuk mulai dari kelompok informal ke organisasi. Semula individu yang bukan anggota kelompok sekarang menjadi anggota kelompok teman sebayanya. Anak-anak sebaya akan berinteraksi dengan anggota teman sebayanya, sehingga ia bertumbuh di dalamnya.
2.    Peer group mempunyai aturan-aturan tersendiri baik ke dalam maupun ke luar. Hal ini juga dimiliki oleh organisasi sosial lainnya dan merupakan harapan bagi anggota kelompoknya. Aturan-aturan itu, misalnya bagaimana menolong teman sekelompoknya atau bagaimana memanggil teman bila bertemu di jalan.
3.    Peer group menyatakan tradisi-tradisi mereka, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, bahkan bahasa mereka. Karena dalam peer group mempunyai aturan-aturan tersendiri maka mereka juga ingin menunjukkan ciri khas kelompoknya dengan tradisi atau kebiasaan mereka. Dalam kelompok itu ada standar tertentu dalam berpakaian, berbicara antar anggota kelompok dan dalam bertingkah laku.
4.    Situasi daripada harapan peer group, sepenuhnya disetujui oleh harapan-harapan orang dewasa. Pembentukan kelompok sebaya seperti kelompok bermain di sekitar anak secara tidak langsung disetujui oleh orang tua, karena orang tua mudah mengawasinya. Atau kelompok teman di sekolahnya disetujui oleh guru, karena memenuhi harapan guru agar anak berkembang hubungan sosialnya.
5.    Pada kenyataannya peer group diketahui dan diterima oleh sebagian besar orang tua dan guru. Kepentingan dalam hubungan sosial individu sering tidak dikenal oleh anak. Sebagai perbandingan dengan lembaga sosial lainnya seperti keluarga atau sekolah, maka peer group anak belajar tentang hubungan sosialnya dari yang sempit sampai hubungan sosialnya yang semakin luas, dari teman sebaya di rumah sampai teman sekolahnya dan hal ini dapat diketahui dan diterima oleh orang tua dan guru.
6.    Secara kronologis, peer group adalah lembaga kedua yang utama untuk sosialisasi. Biasanya antara usia 4-7 tahun dunia sosial anak berubah secara radikal dari dunia sempit dalam keluarga menuju dunia yang lebih luas dalam peer group. Jadi anak berkembang dari lembaga pertama yaitu keluarga menuju lembaga kedua dalam peer groupnya.

C.      Fungsi  Kelompok Sebaya (Peer Group)
Menurut Himcyoo (Home, 23 Desember 2013), sebagaimana kelompok sosial yang lain, maka peer group juga mempunyai fungsi. Perlu diketahui lebih dahulu tentang pengertian peer group yaitu kelompok anak sebaya yang sukses di mana ia dapat berinteraksi. Hal-hal yang dialami oleh anak-anak tersebut adalah hal-hal yang menyenangkan saja.
Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Mengajarkan kebudayaan. Dalam peer group ini diajarkan kebudayaan yang berada di tempat itu. Misalnya: orang luar negeri masuk ke Indonesia, maka teman sebayanya di Indonesia mengajarkan kebudayaan Indonesia.
2.    Mengajarkan mobilitas sosial. Mobillitas sosial adalah perubahan status yang lain. Misalnya ada kelas menengah dan kelas rendah (tingkat sosial). Dengan adanya kelas rendah pindah ke kelas menengah dinamakan mobilitas sosial. Dalam hal ini Neugarten mengadakan penyelidikan pada kelas V dan VI, mendapatkan data bahwa apabila mereka ditanya siapa teman mereka yang paling baik, kebanyakan mereka menunjuk anak yang berasal di atas sosial mereka, baru kemudian anak dari kelas mereka sendiri.
3.    Membantu peranan sosial yang baru. Peer group memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. Misalnya: anak yang belajar bagaimana menjadi pemimpin yang baik, dan sebagainya.
4.    Peer group sebagai sumber informasi bagi orang tua dan guru bahkan untuk masyarakat. Kelompok teman sebaya di sekolah bisa sebagai sumber informasi bagi guru dan orang tua tentang hubungan sosial individu dan seorang yang berprestasi baik dapat dibandingkan dalam kelompoknya. Peer group di masyarakat sebagai sumber informasi, kalau salah satu anggotanya berhasil, maka di mata masyarakat peer group itu berhasil. Atau sebaliknya, bila suatu kelompok sebaya itu sukses maka anggota-anggotanya juga baik.
5.    Dalam peer group, individu dapat mencapai ketergantungan satu sama lain. Karena dalam peer group ini mereka dapat merasakan kebersamaan dalam kelompok, mereka saling tergantung satu sama lainnya.
6.    Peer group mengajar moral orang dewasa. Anggota peer group bersikap dan bertingkah laku seperti orang dewasa, untuk mempersiapkan diri menjadi orang dewasa mereka memperoleh kemantapan sosial. Tingkah laku mereka seperti orang dewasa, tapi mereka tidak mau disebut dewasa. Mereka ingin melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang dewasa, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa berbuat seperti orang dewasa.
7.    Di dalam peer group, individu dapat mencapai kebebasan sendiri. Kebebasan di sini diartikan sebagai kebebasan untuk berpendapat, bertindak atau untuk menemukan identitas diri. Karena dalam kelompok itu, anggota-anggota yang lain juga mempunyai tujuan dan keinginan yang sama. Berbeda kalau anak bergabung dengan orang dewasa, maka anak akan sulit untuk mengutarakan pendapat atau untuk bertindak, karena status orang dewasa selalu berada di atas dunia anak sebaya.
8.    Di dalam peer group, anak-anak mempunyai organisasi sosial yang baru. Anak belajar tentang tingkah laku yang baru, yang tidak terdapat dalam keluarga. Dalam keluarga yang strukturnya lebih sempit, anak belajar bagaimana menjadi anak dan saudara. Sekarang dalam peer group mereka belajar tentang bagaimana menjadi teman, bagaimana mereka berorganisasi, bagaimana berhubungan dengan anggota kelompok yang lain, dan bagaimana menjadi seorang pemimpin dan pengikut. Peer group menyediakan peranan yang cocok bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru.

D.      Ciri-Ciri  Kelompok Sebaya (Peer group)
Menurut Himcyoo (Home, 23 Desember 2013), adapun ciri-ciri daripada peer group adalah sebagai berikut:
1.    Tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Peer group terbentuk secara spontan. Di antara anggota kelompok mempunyai kedudukan yang sama, tetapi ada satu diantara anggota kelompok yang dianggap sebagai pemimpin. Di mana semua anggota beranggapan bahwa dia memang pantas dijadikan sebagai pemimpin, biasanya anak yang disegani dalam kelompok itu. Semua anggota merasa sama kedudukan dan fungsinya.
2.    Bersifat sementara. Karena tidak ada struktur organisasi yang jelas, maka kelompok ini kemungkinan tidak bisa bertahan lama, lebih-lebih jika yang menjadi keinginan masing-masing anggota kelompok tidak tercapai, atau karena keadaan yang memisahkan mereka seperti pada teman sebaya di sekolah. Yang terpenting dalam peer group adalah mutu hubungan yang bersifat sementara.
3.    Peer group mengajarkan individu tentang kebudayaan yang luas. Misalnya teman sebaya di sekolah, mereka pada umumnya terdiri dari individu yang berbeda-beda lingkungannya, di mana mempunyai aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-beda pula. Lalu mereka memasukkannya dalam peer group, sehingga mereka saling belajar secara tidak langsung tentang kebiasan-kebiasaan itu dan dipilih yang sesuai dengan kelompok kemudian dijadikan kebiasaan-kebiasaan kelompok.
4.    Anggotanya adalah individu yang sebaya. Contoh konkritnya pada anak-anak usia SMP atau SMA, di mana mereka mempunyai keinginan dan tujuan serta kebutuhan yang sama.

E.       Jenis-jenis Kelompok Sebaya (Peer group)
Menurut Boharudin (Home, 23 Desember 2013), setiap kelompok sebaya mempunyai atauran baik yang bersifat implisit maupun eksplisit, harapan-harapan terhadap anggotanya. Ditinjau dari sifat organisasinya kelompok sebaya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
1.    Kelompok sebaya yang bersifat informal. Kelompok sebaya ini dibentuk, diatur,dan dipimpin oleh anak itu sendiri misalnya, kelompok permainan,gang dll. Didalam kelompok ini tidak adabimbingan dan pertisipasi orang dewasa.
2.    Kelompok sebaya yang bersifat formal. Di dalam kelompok ini ada bimbingan, partisipasi atau pengarahan orang dewasa. Apabila bimbingan dan pengarahan diberikan secara bijaksana maka kelompok sebaya ini dapat menjadi wahana proses sosialisasi nilai-nilai dan norma yang terdapat dalam masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok sebaya ini misalnya, kepramukaan, klub, perkumpulan pemuda dan organisasi lainnya.

Menurut Robbins dalam Boharudin (Home, 23 Desember 2013), ada empat jenis kelompok sebaya yang mempunyai peranan penting dalam proses sosialisasi yaitu sebagai berikut:
1.    Kelompok permainan (play group) terbentuk secara spontan dan merupakan kegiatan khas anak-anak, namun di dalamnya tercermin pula struktur dan proses masyarakat luas.
2.     Gang bertujuan kegiatannya untuk kejahatan, kekerasan, dan perbuatan anti sosial. Klub adalah kelompok sebaya yang bersifat formal dalam artian mempunyai organisasi sosial yang teratur serta dalam bimbingan orang dewasa.
3.    Sementara itu klik (clique), para anggotanya selalu merencanakan untuk mengerjakan sesuatu secara bersama yang bersifat positif dan tidak menimbulkan konflik sisial.
      Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa kelompok sebaya sangat berperan penting dalam proses sosialisasi individu terutama kelompok sebaya remaja. Pengaruh kelompok sebaya tidak hanya berdampak negatif akan tetapi juga berdampak positif. Untuk itu pembentengan diri melalui keluarga masih sangat diperlukan bahwa ketika anak memiliki teman maka kenalilah siapa yang menjadi teman anak kita.

F.       Pengaruh Perkembangan Kelompok Sebaya (peer group)
Menurut Havinghurst dalam Himcyoo (Home, 23 Desember 2013),  pengaruh perkembangan peer group ini mengakibatkan adanya:
1.    Kelas-kelas sosial. Pembentukan kelompok sebaya berdasarkan tingkat status sosial ekonomi individu, sehingga dapat digolongkan atas kelompok kaya dan kelompok miskin.
2.    ‘In’ dan ‘Out’ group. ‘In’ group adalah teman sebaya dalam kelompok. ‘Out’ group adalah teman sebaya di luar kelompok. Contoh yang mudah mengenai ‘in’ dan ‘Out’ group ini dapat kita rasakan dalam kelas, di mana kita mempunyai teman akrab dan teman tidak akrab (biasa). Teman yang akrab tersebut dinamakan ‘in’ group dan teman yang lainnya kita sebut ‘Out’ group.
Pengaruh lain dalam peer group ini ada yang positif dan ada yang negatif yaitu sebagai berikut:
1.    Pengaruh positif dari peer group adalah:
a.    Apabila individu di dalam kehidupannya memiliki peer group
maka mereka akan lebih siap menghadapi kehidupan yang akan datang.
b.    Individu dapat mengembangkan rasa solidaritas antar kawan.
c.    Bila individu masuk dalam peer group, maka setiap anggota akan       dapat membentuk masyarakat yang akan direncanakan sesuai dengan kebudayaan yang mereka anggap baik (menyeleksi kebudayaan dari  beberapa temannya).
d.   Setiap anggota dapat berlatih memperoleh pengetahuan, kecakapan dan melatih bakatnya.
e.    Mendorong individu untuk bersikap mandiri.
f.     Menyalurkan perasaan dan pendapat demi kemajuan kelompok.

2.    Pengaruh negatif dari peer group adalah;
a.    Sulit menerima seseorang yang tidak mempunyai kesamaan.
b.    Tertutup bagi individu lain yang tidak termasuk anggota.
c.    Menimbulkan rasa iri pada anggota satu dengan anggota yang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
d.   Timbulnya persaingan antar anggota kelompok.
e.       Timbulnya pertentangan/gap-gap antarkelompok sebaya.
Misalnya: antara kelompok kaya dengan kelompok miskin.











Pertemuan 3



A.      Definisi Peserta Didik 
 
Peserta didik merupakan sumberdaya utama dan terpenting dalam proses pendidikan formal. Tidak ada peserta didik, tidak ada guru. Peserta didik bisa belajar tanpa guru. Sebaliknya, guru tidak bisa mengajar tanpa peserta didik. Karenanya, kehadiran peserta didik menjadi keniscayaan dalam proses pendidikan formal atau pendidikan yang dilembagakan dan menuntut interaksi antara pendidik dan peserta didik.
Sebutan peserta didik itu menggantikan sebutan “ siswa” atau “murid” atau “pelajar” atau “student”. Akan tetapi, kalau benar sebutan “peserta didik” merupakan padanan kata “ siswa”dan sebutan terakhir ini untuk mereka yang belajar pada jenjang sekolah menegah ke bawah, oleh karena itu dalam tradisi kita mereka yang belajar di perguruan tinggi disebut mahasiswa.
Pada sisi lain, didalam literatur akademik, sebutan peserta didik (educational participant) umumnya berlaku untuk pendidikan orang dewasa ( adul educaion), sedangkan untuk pendidikan “Konvensional”, disebut siswa. Namun demikian, karena sebutan peserta didik sudah dilegitimasi di dalam perundang-undangan pendidikan kita.
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik juga didefinisikan sebagai orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar yang masih perlu dikembangkan. Potensi dimaksud umumnya terdiri dari tiga kategori, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (Danim, 2010: 1).




B.       Hakikat Peserta Didik
Definisi peserta didik di atas esensinya adalah setiap peserta didik yang berusaha mengembangkan potensi pada jalur pendidikan formal dan nonformal menurut jenjang dan jenisnya. Terdapat banyak sebutan yang berkaitan dengan      “ peserta didik” ini, sesuai dengan konteksnya. Misalnya, sebutan siswa, pelajar, atau murid populer untuk mereka yang belajar di sekolah menengah ke bawah. Sebutan “ warga belajar” untuk mereka yang belajar pada lembaga PNF. Santri adalah istilah bagi siswa pada jalur pendidikan pesantren. Sebutan mahasiswa untuk mereka yang belajar di perguruan tinggi. Ada pun sebutannya, ada hal-hal yang esensial mengenai hakikat peserta didik (Danim, 2010: 2).

1.      Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi potensi dasar kognitif atau intelektual, afektif, dan psikomotorik.
2.      Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan, meski memiliki pola yang relatif sama.
3.      Peserta didik memiliki imajinasi, persepsi, dan dunianya sendiri, bukan sekedar miniatur orang dewasa.
4.      Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik jasmani maupun rohani, meski dalam hal-hal tertentu banyak kesamaannya.
5.      Peserta didik merupakan manusia bertanggungjawab bagi proses belajar pribadi dan menjadi pembelajar sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat.
6.      Peserta didik memiliki daya adaptabilitas di dalam kelompok sekaligus mengembangkan dimensi individualitasnya sebagai insan yang unik.
7.      Peserta didik memerlukan pembinaan dan pengembangan secara individual dan kelompok, serta mengharapkan perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa, termasuk gurunya.
8.      Peserta didik merupakan insan yang visioner dan proaktif dalam menghadapi lingkungannya.
9.      Peserta didik sejatinya berperilaku baik dan lingkunganlah yang paling dominan untuk membuatnya lebih baik lagi atau menjadi lebih baik.
10.  Peserta didik merupakan makhluk Tuhan yang meski memiliki aneka keunggulan, namun tidak akan mungkin bisa berbuat atau dipaksa melakukan sesuatu melebihi kapasitasnya.

Manusia dalam kedudukannya sebagai peserta didik haruslah ditempatkan sebagai pribadi yang utuh, yakni manusia sebagai kesatuan sifat makhluk individu dan sosial, sebagai kesatuan jasmani dan rohani, daan sebagai makhluk Tuhan yang harus menempatkan hidupnya di dunia sebagai persiapan kehidupan akhirat (Agung, 2008: 2).

Kajian mengenai hakikat peserta didik dapat dilihat dari aneka tilikan filosofis dan teoritis. Pandangan psikomotorik melihat peserta didik sebagai insan digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya sendiri yang bersifat instingtif. Pandangan humanistik melihat peserta didik sebagai insan yang baik dan memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinys ke tujuan-tujuan yang positif. Pandangan ini didasari atas asumsi bahwa manusia merupakan insan yang selalu berubah, tumbuh, dan berkembang menjadi pribadi yang lebih maju dan sempurna. Pandangan netralistik melihat peserta didik sebagai insan yang tidak dapat dikatakan ini atau itu. Karena esensinya manusia merupakan suatu keadaan dan keberadaan yang berpotensi, namun dihadapkan pada kesemestaan alam,sehingga manusia itu terbatas. Pandangan behavioristik melihat peserta didik sebagai manusia yang sepenuhnya adalah makhluk reaktif, dimana tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang bersumber atau memiliki kekuatan dari luar.
Menurut Hendra ( Home, 28 September 2013), “beberapa hal yang perlu difahami dalam masalah anak didik adalah”:
a.       Anak didik bukan miniatur orang dewasa
b.      Perkembangan anak didik mengiukuti periode tahap perkembangan tertentu.
c.       Anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhannya itu semaksimal mungkin.
d.       Anak didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu lain.

C.    Kebutuhan dan Karakteristik Peserta Didik
Peserta didik merupakan insan yang memiliki aneka kebutuhan. Kebutuhan itu terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan sifat dan karakteristiknya sebagai manusia. Asosiasi Nasional Sekolah Menengah ( Nasional Association of Hight School ) Amerika Serikat (1995) dalam Danim, (2010: 3), “mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan peserta didik dilihat dari dimensi pengembangannya, yaitu seperti berikut ini”.
1.      Kebutuhan intelektual, dimana peserta didik memiliki rasa ingin tahu, termotivasi untuk mencapai prestasi saat ditantang dan mampu berpikir untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
2.      Kebutuhan sosial, dimana peserta didik mempunyai harapan yang kuat untuk memiliki dan dapat diterima oleh rekan-rekan mereka sambil mencari tempatnya sendiri di dunianya.
3.      Kebutuhan fisik, dimana peserta didik “ jatuh tempo” perkembangan pada tingkat yang berbeda dan mengalami pertumbuhan yang cepat dan tidak beraturan.
4.      Kebutuhan emosional dan psikologis, dimana peserta didik rentan dan sadar sendiri, dan sering mengalami “ mood swings” yang tidak terduga.
5.      Kebutuhan moral, dimana peserta didik idealis dan ingin memiliki kemauan kuat untuk membuat dunia dirinya dan dunia di luar dirinya menjadi tempat yang lebih baik.
6.      Kebutuhan homodivinous, dimana peserta didik mengakui dirinya sebagai makhluk yang berketuhanan atau makhluk homoriligius alias insan yang beragama.

Menurut Danim (2010: 4), karakteristik peserta didik adalah totalitas kemampuan dan perilaku yang ada pada pribadi mereka sebagai hasil dari interaksi antara pembawaan dengan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya dalam mewujudkan harapan dan meraih cita-cita. Karena itu, upaya memahami perkembangan peserta didik harus dikaitkan atau disesuaikan dengan karakteristik siswa itu sendiri. Ada empat hal dominan dari karakteristik siswa, yaitu:
1.      Kemampuan dasar, misalnya, kemampuan kognitif atau intelektual, afektif, dan psikomotor.
2.      Latar belakang kultural lokal, status sosial, status ekonomi, agama, dan sebagainya.
3.      Perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dan lain-lain.
4.      Cita-cita, pandangan ke depan, keyakinan diri, daya tahan, dan lain-lain.

D.      Hak dan Kewajiban Peserta Didik
Ketika memasuki satuan pendidikan formal atau sekolah, peserta didik memiliki hak dan kewajiban tertentu. Hak dan Kewajiban itu antara lain diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Di dalam UU ini disebutkan bahwa setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak:
1.      Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
2.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
3.      Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
4.      Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
5.      Pendah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.

Khusus mereka yang telah memasuki usia wajib belajar, dalam PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar ditetapkan bahwa satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar dari lingkungan sekitarnya tanpa diskriminasi sesuai daya tampung satuan pendidikan yang bersangkutan. Penerimaan peserta didik pada SD/MI atau yang sederajat tidak mempersyaratkan bahwa calon peserta didik yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan anak usia dini. Disebutkan juga dalam PP ini bahwa satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar yang melanggar ketentuan dikenakan sanksi penelenggara program wajib belajar yang melanggar ketentuan administrasi berupa teguran, penghentian pemberian bantuan hingga penutupan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Menurut Hasdiansyah ( Home, 28 September 2013 ), peserta didik dituntut untuk menghormati dan mentaati norma-norma dan aturan yang berlaku namun kadang pendidik sendiri yang melanggar norma, tidak sedikit kita dengar di televisi-televisi tentang kejahatan yang dilakukan pendidik misalnya tindakan amoral, asusila, kriminal dan lain-lain.

Sejalan dengan itu, setiap peserta didik harus memenuhi kewajiban tertentu. UU. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas telah mengatur kewajiban peserta didik. Pertama, menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Kedua, ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

E.     Karakteristik Peserta Didik yang Sukses
Menurut Danim (2010: 6), “dengan memahami perkembangan peserta didik, guru tahu apa yang baik dan apa yang tidak baik dari mereka.inilah karakteristik peserta didik yang sukses”.
1.      Menghadiri semua sesi kelas dan acara di laboratorium atau di luar kelas secara teratur. Mereka hadir tepat waktu.
2.      Menjadi pendengar yang baik dan melatih diri untuk memusatkan perhatian.
3.      Memastikan ingin mendapatkan semua jawaban atas tugas, dengan cara menghubungi instruktur atau siswa lain.
4.      Memanfaatkan peluang pembelajaran ekstra ketika ditawarkan.
5.      Melakukan hal yang bersifat operasional dan sering menantang tugas baru ketika banyak siswa lain justru menghindarinya.
6.      Memiliki perhatian tinggi di kelasnya.
7.      Berpartisipasi pada semua sesi kelas, meski upaya mereka sedikit menghadapi rasa kikuk dan sulit.
8.      Memperhatikan guru-guru mereka sebelum atau setelah sesi kelas atau selama jam pelajaran.
9.      Kerap berdiskusi dengan guru-guru lainnya untuk mendapatkan pengalaman yang bermakna.
10.  Mengerjakan semua tugas secara rapi dan menelaah hasilnya secara kritis.